Kejeniusan dan Kebodohan
Évariste
Galois dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1811 di Bourg-la-Reine, sebuah daerah
pinggiran selatan kota Paris. Ia berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya,
Nicolas-Gabriel Galois, memiliki kepahaman filsafat dan studi klasik, yang
dikemudian hari terpilih menjadi seorang walikota. Adapun ibunya
Adelaide-Marie berasal dari keluarga
praktisi ilmu hukum. Galois mempunyai saudara laki – laki bernama Alfred , dan
saudara perempuan bernama Nathalie Theodore. Meskipun ia dilatarbelakangi oleh
orang yang terpelajar, Galois tidak disekolahkan sampai umur 12 tahun. Ibunya
lebih suka mendidik anaknya secara langsung dirumah, baik itu menulis, sastra
klasik, filsafat hingga aritmatika.
Boleh
dibilang bahwa kultur terpelajar ini membentuk kecenderungan Galois pada dunia
ilmu. Dan memang dia mempunyai bakat, terutama di bidang matematika. Ia
dikabarkan telah membaca dan mampu memahami karya matematikawan terkenal
Legendre dan Lagrange di usia 15. Hal ini sangat menarik, karena pada dasarnya
dia dibesarkan oleh keluarga yang tidak hobi matematika. Didikan keluarga ini
kemudian membuat Galois jadi menyerap pendirian orangtuanya, termasuk di
antaranya soal politik. Memasuki usia
12, Galois mendaftar masuk sekolah asrama bergengsi Lycée Louis-le-Grand.
Sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1563, dan telah menghasilkan alumni
terbaik, sebagai contoh Voltaire dan Victor Hugo. Walaupun begitu, semua gengsi
itu ibarat fatamorgana dan pada akhirnya semua luruh dan lenyap di mata Galois.
Di satu sisi ia mendapat pendidikan, akan tetapi di sisi lain, dia merasa kacau
dengan keadaan pada saat itu. Semester pertama Galois berlangsung pada tahun
1823. Pada masa itu Revolusi Prancis sudah lewat beberapa tahun, akan tetapi,
bumbu perpecahan masih terasa di seluruh negeri, begitu juga di Lycée
Louis-le-Grand. Sebagai institusi yang menampung murid berbagai daerah,
perdebatan dan perkelahian menjadi hal umum. Tidaklah aneh untuk menanggapi
kecenderungan ini, pihak sekolah menerapkan disiplin yang ketat. Belum lagi
satu semester sudah terjadi kekacauan. Sekelompok murid yang berhaluan liberal
mengadakan protes, menolak tradisi menghormati Raja Louis XVIII. Sebagai
akibatnya 117 orang murid dikeluarkan. Galois sendiri, biarpun tidak ikut
serta, menyaksikan hal itu sebagai ketidakadilan, Galois akhirnya menjadi pendukung
militan Republik Prancis.
Adapun dari
segi pendidikan, Galois tidak mengalami masalah. Dua tahun pertama ia lewati
dengan lancar. Nilai-nilainya cukup bagus, kecuali pada pelajaran retorika.
Namun pada semester tiga, nilai-nilainya jeblok, hal ini dikarenakan ia terlalu
fokus dengan matematika dan mengabaikan yang lain. Tahun terakhir Galois di Louis-le-Grand boleh
dibilang berupa mixed bag of result. Di satu sisi ia mulai mendalami matematika
tingkat lanjut, bahkan hingga mengirim tulisan ke jurnal akademik. Meskipun
begitu, keberhasilan itu harus dibayar mahal. Seiring meningkatnya ketegangan
politik di Prancis, keluarga Galois yang liberal mulai mendapat tekanan. Sebuah
awal dari rangkaian peristiwa yang dalam waktu singkat akan memicu keambrukan
mental Galois.
Sebagaimana
telah disebut di awal, ayah Galois adalah seorang walikota liberal. Ia
terang-terangan menentang monarki, begitu pula anaknya, Galois. Kepopulerannya
sebagai walikota Bourg-la-Reine ditunjang oleh kecerdasan bermain kata dan
puisi, hal yang disenangi orang-orang
sebagai hobi. Sayangnya malang tak dapat ditolak. Melalui sebuah konspirasi,
pendeta gereja lokal memalsukan tanda tangan Walikota, menyebarkan surat palsu
bernada fitnah. Peristiwa ini menimbulkan skandal besar. Dipermalukan dan
dituduh secara tidak adil, Nicolas-Gabriel akhirnya mundur dari jabatan. Ia
memboyong keluarganya pindah, akan tetapi, sisa hidupnya tidak damai.
Nicolas-Gabriel akhirnya bunuh diri pada tahun 1829.
Kepergian
sang ayah menimbulkan dampak hebat pada psikologi Galois. Apabila kegemaran
dengan matematika telah mendorongnya jadi singular dan tertutup, maka tewasnya
Nicolas-Gabriel membuatnya jadi getir dan sinis. Di sinilah awalnya Galois
menjadi sosok keras yang paranoid. Dalam dua tahun selanjutnya, ia akan
dihinggapi neurosis, yang kemudian akan dilampiaskan dalam berbagai demonstrasi
antipemerintah. Adapun pukulan terakhir, dan paling keras, terjadi satu bulan
pasca kematian Ayahnya, Galois memutuskan ikut ujian masuk perguruan tinggi. Di
tahun sebelumnya ia sudah mendaftar École Polytechnique, akan tetapi ia gagal
karena kurang persiapan. Tahun ini adalah kesempatan terakhir, seseorang hanya boleh mendaftar dua kali.
Apabila tahun ini juga gagal maka Galois harus mencari kampus lain.
Tak susah
membayangkan bahwa Galois menjalani ujian dalam kondisi kacau. Belum lama
ayahnya bunuh diri, lalu pemakaman berujung rusuh, dan kini dia harus ujian.
Tidak mengherankan bahwa dia akhirnya gagal. Namun, akibat kekacauan yang
terjadi dalam dirinya, ia menjadi seorang yang pemarah. Sebuah versi sejarah
mengatakan bahwa ia menganggap pengujinya terlalu bodoh, tidak mampu memahami
kejeniusan dirinya, versi lain
mengatakan bahwa ia sampai melempar penghapus papan tulis karena frustrasi.
Kegetiran Galois kelak akan semakin menjadi-jadi. Memasuki perguruan tinggi
sekunder yang kalah bergengsi, ia akan menjadi seorang agitator militan. Pun
begitu Galois tidak melupakan passion di bidang matematika justru karya
terbaiknya akan muncul di periode ini.
Ditolak
masuk kampus pilihan utama, Galois akhirnya terdampar di pilihan kedua, École
Normale. Peristiwa ini terjadi di awal tahun 1830. Ironisnya, justru di kampus
ini jiwa matematika Galois berkembang. Setengah tahun sebelumnya, Galois telah
mencoba mengirim manuskrip kepada Akademi Sains Prancis. Ini adalah formulasi
awal dari Teori Galois — teori yang menjelaskan tentang solusi polinomial
orde-5. Guru matematika Galois sendiri, Louis-Paul-Emile Richard,
mengantarkannya pada matematikawan Cauchy. Anehnya, entah karena apa, Cauchy
tidak pernah mempresentasikan manuskrip tersebut di Akademi. Ada kemungkinan
manuskrip itu hilang atau terselip. Meskipun demikian, sebuah versi mengatakan
bahwa Cauchy memuji karya Galois, dan ingin agar karya tersebut disempurnakan
demi nominasi Grand Prix des Sciences Mathematiques. Apapun yang terjadi, yang
jelas manuskrip ini akhirnya terlupa dan terabaikan. Melihat karyanya seolah
tak diperhatikan, Galois memutuskan untuk merevisi dan mengirim langsung ikut
Grand Prix. Sayangnya lagi-lagi ia tak beruntung. Manuskrip diberi ke
matematikawan Fourier untuk dinilai, akan tetapi Fourier meninggal sebulan
kemudian. Entah bagaimana di antara peninggalannya tak terdapat manuskrip
Galois. Lagi-lagi, karya Galois terlupakan. Di luar itu sendiri, sepanjang
tahun 1830 Galois menuliskan tiga buah paper dimuat dalam jurnal Ferrusac
Bulletin terkait teori angka dan
persamaan. Masing-masingnya dengan judul terjemahan Inggris, “An analysis of a
memoir on the algebraic resolution of equations”, “Notes on the resolution of
numerical equations”, dan “On the theory of numbers.”
Adapun
memasuki tahun 1831, Galois diminta untuk menulis ulang karya yang diberikan
kepada Cauchy dan Fourier. Untuk kali ini, matematikawan Poisson yang melakukan
penilaian, tetapi pada akhirnya ia pun menolak Galois bukan karena salah,
melainkan karena penjelasannya terlalu abstrak. Rekomendasinya adalah agar
paper itu ditulis ulang/disempurnakan.
Guigniault,
seorang konservatif, adalah dosen yang melarang mahasiswanya berpolitik.
Galois, sebaliknya: jiwa aktivis yang dimilikinya sangat kuat. Tak pelak ia dan
Guigniault sering berdebat. Puncaknya terjadi ketika Guigniault menerbitkan
surat terbuka menyerang seorang guru berhaluan liberal. Belum lagi lama di
École, tetapi Galois sudah berani menantang. Guigniault tidak lagi menoleransi.
Galois akhirnya dikeluarkan dari sekolah — dan untuk selanjutnya, harus
berjuang menghidupi diri sendiri. Masa-masa selanjutnya, sekaligus merupakan
tahun terakhir hidup Galois, boleh dibilang yang paling kelam. Dia dipecat dari
sekolah dan tak punya pekerjaan. Frustrasi akan penolakan kalangan ilmiah, ia
tak lagi menghasilkan karya matematika. Galois kini mencari pelarian lewat
aktivitas radikal dan minuman keras. Tercatat bahwa Galois dua kali ditahan polisi
karena berdemo. Yang pertama, ketika dalam sebuah acara perayaan, dia bersulang
untuk Raja Louis-Philippe sambil menadahkan pisau. Hal ini dianggap sebagai
ekspresi ancaman. Adapun yang kedua, ketika ia dengan nekat mengenakan seragam
artileri dan berkeliling kota membawa senjata: setidaknya dua pistol, satu
bedil, dan sebuah belati. Jikalau tadinya
ada orang meragukan militansi Galois maka, lewat dua peristiwa di atas, kesan
itu pupus sudah. Ia kini telah menjadi radikal yang seradikalnya. Tidak heran
bahwa pada akhirnya ia divonis penjara enam bulan. Ironisnya kemalangan Galois tidak berhenti
sampai di situ. Menjelang dihukum penjara pun kabar buruk masih menimpanya.
Revisi paper yang diserahkan pada Poisson dan Lacroix, yang berbulan-bulan
tidak ada kabar, akhirnya resmi ditolak. Peristiwa ini merupakan pukulan besar
akan harapan Galois mendapat pengakuan ilmiah.
Dan memang
kepindahan itu memberi nilai positif. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Galois
menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada matematika atau idealisme
Revolusi. Dia jatuh cinta pada putri seorang dokter di Sieur Faultier seorang gadis bernama Stephanie Potterin du
Mottel. Sayangnya, sebagaimana banyak hal lain di kehidupan Galois: cinta ini
pun mengalami penolakan. Stephanie yang awalnya berteman baik dengan Galois
perlahan menarik diri. Entah apa alasannya barangkali disumbang oleh temperamen Galois.
Bagaimanapun akhirnya hubungan itu kandas.
Selepas
hubungannya dengan Stephanie, Galois semakin tenggelam dalam politik. Dari
dalam tahanan ia berkoordinasi dan mendiskusikan ide-ide progresif. Meskipun
begitu, bulan Mei telah tiba, dan masa hukuman telah habis. Galois kembali
menjadi orang bebas.
Tiba-tiba
saja, tanpa latar belakang jelas, Galois menulis surat pada teman-temannya:
bahwa ia telah ditantang untuk berduel menggunakan pistol
Terdapat
beberapa teori terkait latar belakang duel Galois. Satu versi meyakini Galois
dijebak oleh rezim pemerintah; versi lain mengatakan duel itu terkait masalah
wanita. Versi lain lagi menyatakan bahwa Galois hendak dijadikan martir
politik: sebagai aktivis radikal, kematiannya akan berguna menggelorakan
simpati. Mengenai hal ini para sejarahwan tidak sepakat, dan kemungkinan, tidak
akan pernah sepakat
Terlepas
dari penyebabnya, satu hal sudah jelas di pagi hari 30 Mei 1832, Évariste
Galois pergi ke lapangan terbuka untuk duel pistol. Menarik untuk dicatat bahwa
dia begitu pesimis begitu yakin akan
mati dalam duel tersebut. Yang mana, hal ini memicu sebuah tindakan legendaris.
Galois, menyadari bahwa akhir hidupnya sudah dekat, menuliskan semua teori matematikanya
dalam satu malam berbentuk surat dan menitipkan pada sahabatnya Chevalier.
Surat tersebut sekaligus mengandung catatan tentang riset terbaru Galois, yang
tidak terdapat dalam publikasi sebelumnya. Kelak lembar-lembar itu akan
diperiksa matematikawan Liouville dan diterbitkan dalam Journal de
Mathématiques Pures et Appliquées sebelas tahun setelah kematian penulisnya.
Bahwa Galois
sosok jenius, hal itu sulit disangkal. Di usia duapuluh tahun ia membuka
cakrawala baru di bidang matematika. Sumbangannya bernilai signifikan di bidang
teori grup dan simetri di samping sentuhan sana-sini terkait teori angka. Hanya
saja, karena satu dan lain hal, ia tidak dapat bersumbangsih lebih lama.
Akhirnya usia juga yang membatasinya.
Akan tetapi,
yang membuat Galois menarik bukan semata karena dia jenius justru sebaliknya.
Yang membuat Galois istimewa adalah berbagai kontradiksi inheren dalam dirinya.
Seorang matematikawan yang berpolitik; romantis yang galak; jenius yang hampir
gila didera penderitaan. Hampir sepanjang hidupnya dia ditolak karena “nggak
pernah nyambung” sebab memang begitu banyak sisi yang dimiliki. Semua itu
berkontribusi membentuk pribadi “Galois” yang unik.
Barangkali
satu hal yang perlu ditekankan adalah: betapapun Galois itu cerdas, bukan berarti
dia tidak bodoh. Benar bahwa dia mampu menghasilkan kontribusi ilmiah yang
besar. Akan tetapi dia juga mempunyai sisi ketololan tersendiri, dengan sengaja
memancing dipecat dari sekolah, hidup luntang-lantung menyalahgunakan alcohol,
langganan keluar-masuk penjara. Ditambah lagi bahwa ia sepertinya menderita
gangguan jiwa, selepas kematian ayahnya, Galois adalah seorang getir,
pengumpat, dan paranoid.