Minggu, 13 Mei 2012 0 komentar

Galois


Kejeniusan dan Kebodohan

Évariste Galois dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1811 di Bourg-la-Reine, sebuah daerah pinggiran selatan kota Paris. Ia berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya, Nicolas-Gabriel Galois, memiliki kepahaman filsafat dan studi klasik, yang dikemudian hari terpilih menjadi seorang walikota. Adapun ibunya Adelaide-Marie  berasal dari keluarga praktisi ilmu hukum. Galois mempunyai saudara laki – laki bernama Alfred , dan saudara perempuan bernama Nathalie Theodore. Meskipun ia dilatarbelakangi oleh orang yang terpelajar, Galois tidak disekolahkan sampai umur 12 tahun. Ibunya lebih suka mendidik anaknya secara langsung dirumah, baik itu menulis, sastra klasik, filsafat hingga aritmatika.
Boleh dibilang bahwa kultur terpelajar ini membentuk kecenderungan Galois pada dunia ilmu. Dan memang dia mempunyai bakat, terutama di bidang matematika. Ia dikabarkan telah membaca dan mampu memahami karya matematikawan terkenal Legendre dan Lagrange di usia 15. Hal ini sangat menarik, karena pada dasarnya dia dibesarkan oleh keluarga yang tidak hobi matematika. Didikan keluarga ini kemudian membuat Galois jadi menyerap pendirian orangtuanya, termasuk di antaranya soal politik.  Memasuki usia 12, Galois mendaftar masuk sekolah asrama bergengsi Lycée Louis-le-Grand. Sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1563, dan telah menghasilkan alumni terbaik, sebagai contoh Voltaire dan Victor Hugo. Walaupun begitu, semua gengsi itu ibarat fatamorgana dan pada akhirnya semua luruh dan lenyap di mata Galois. Di satu sisi ia mendapat pendidikan, akan tetapi di sisi lain, dia merasa kacau dengan keadaan pada saat itu. Semester pertama Galois berlangsung pada tahun 1823. Pada masa itu Revolusi Prancis sudah lewat beberapa tahun, akan tetapi, bumbu perpecahan masih terasa di seluruh negeri, begitu juga di Lycée Louis-le-Grand. Sebagai institusi yang menampung murid berbagai daerah, perdebatan dan perkelahian menjadi hal umum. Tidaklah aneh untuk menanggapi kecenderungan ini, pihak sekolah menerapkan disiplin yang ketat. Belum lagi satu semester sudah terjadi kekacauan. Sekelompok murid yang berhaluan liberal mengadakan protes, menolak tradisi menghormati Raja Louis XVIII. Sebagai akibatnya 117 orang murid dikeluarkan. Galois sendiri, biarpun tidak ikut serta, menyaksikan hal itu sebagai ketidakadilan, Galois akhirnya menjadi pendukung militan Republik Prancis.
Adapun dari segi pendidikan, Galois tidak mengalami masalah. Dua tahun pertama ia lewati dengan lancar. Nilai-nilainya cukup bagus, kecuali pada pelajaran retorika. Namun pada semester tiga, nilai-nilainya jeblok, hal ini dikarenakan ia terlalu fokus dengan matematika dan mengabaikan yang lain.  Tahun terakhir Galois di Louis-le-Grand boleh dibilang berupa mixed bag of result. Di satu sisi ia mulai mendalami matematika tingkat lanjut, bahkan hingga mengirim tulisan ke jurnal akademik. Meskipun begitu, keberhasilan itu harus dibayar mahal. Seiring meningkatnya ketegangan politik di Prancis, keluarga Galois yang liberal mulai mendapat tekanan. Sebuah awal dari rangkaian peristiwa yang dalam waktu singkat akan memicu keambrukan mental Galois.
Sebagaimana telah disebut di awal, ayah Galois adalah seorang walikota liberal. Ia terang-terangan menentang monarki, begitu pula anaknya, Galois. Kepopulerannya sebagai walikota Bourg-la-Reine ditunjang oleh kecerdasan bermain kata dan puisi,  hal yang disenangi orang-orang sebagai hobi. Sayangnya malang tak dapat ditolak. Melalui sebuah konspirasi, pendeta gereja lokal memalsukan tanda tangan Walikota, menyebarkan surat palsu bernada fitnah. Peristiwa ini menimbulkan skandal besar. Dipermalukan dan dituduh secara tidak adil, Nicolas-Gabriel akhirnya mundur dari jabatan. Ia memboyong keluarganya pindah, akan tetapi, sisa hidupnya tidak damai. Nicolas-Gabriel akhirnya bunuh diri pada tahun 1829.
Kepergian sang ayah menimbulkan dampak hebat pada psikologi Galois. Apabila kegemaran dengan matematika telah mendorongnya jadi singular dan tertutup, maka tewasnya Nicolas-Gabriel membuatnya jadi getir dan sinis. Di sinilah awalnya Galois menjadi sosok keras yang paranoid. Dalam dua tahun selanjutnya, ia akan dihinggapi neurosis, yang kemudian akan dilampiaskan dalam berbagai demonstrasi antipemerintah. Adapun pukulan terakhir, dan paling keras, terjadi satu bulan pasca kematian Ayahnya, Galois memutuskan ikut ujian masuk perguruan tinggi. Di tahun sebelumnya ia sudah mendaftar École Polytechnique, akan tetapi ia gagal karena kurang persiapan. Tahun ini adalah kesempatan terakhir,  seseorang hanya boleh mendaftar dua kali. Apabila tahun ini juga gagal maka Galois harus mencari kampus lain.
Tak susah membayangkan bahwa Galois menjalani ujian dalam kondisi kacau. Belum lama ayahnya bunuh diri, lalu pemakaman berujung rusuh, dan kini dia harus ujian. Tidak mengherankan bahwa dia akhirnya gagal. Namun, akibat kekacauan yang terjadi dalam dirinya, ia menjadi seorang yang pemarah. Sebuah versi sejarah mengatakan bahwa ia menganggap pengujinya terlalu bodoh, tidak mampu memahami kejeniusan dirinya,  versi lain mengatakan bahwa ia sampai melempar penghapus papan tulis karena frustrasi. Kegetiran Galois kelak akan semakin menjadi-jadi. Memasuki perguruan tinggi sekunder yang kalah bergengsi, ia akan menjadi seorang agitator militan. Pun begitu Galois tidak melupakan passion di bidang matematika justru karya terbaiknya akan muncul di periode ini.
Ditolak masuk kampus pilihan utama, Galois akhirnya terdampar di pilihan kedua, École Normale. Peristiwa ini terjadi di awal tahun 1830. Ironisnya, justru di kampus ini jiwa matematika Galois berkembang. Setengah tahun sebelumnya, Galois telah mencoba mengirim manuskrip kepada Akademi Sains Prancis. Ini adalah formulasi awal dari Teori Galois — teori yang menjelaskan tentang solusi polinomial orde-5. Guru matematika Galois sendiri, Louis-Paul-Emile Richard, mengantarkannya pada matematikawan Cauchy. Anehnya, entah karena apa, Cauchy tidak pernah mempresentasikan manuskrip tersebut di Akademi. Ada kemungkinan manuskrip itu hilang atau terselip. Meskipun demikian, sebuah versi mengatakan bahwa Cauchy memuji karya Galois, dan ingin agar karya tersebut disempurnakan demi nominasi Grand Prix des Sciences Mathematiques. Apapun yang terjadi, yang jelas manuskrip ini akhirnya terlupa dan terabaikan. Melihat karyanya seolah tak diperhatikan, Galois memutuskan untuk merevisi dan mengirim langsung ikut Grand Prix. Sayangnya lagi-lagi ia tak beruntung. Manuskrip diberi ke matematikawan Fourier untuk dinilai, akan tetapi Fourier meninggal sebulan kemudian. Entah bagaimana di antara peninggalannya tak terdapat manuskrip Galois. Lagi-lagi, karya Galois terlupakan. Di luar itu sendiri, sepanjang tahun 1830 Galois menuliskan tiga buah paper dimuat dalam jurnal Ferrusac Bulletin  terkait teori angka dan persamaan. Masing-masingnya dengan judul terjemahan Inggris, “An analysis of a memoir on the algebraic resolution of equations”, “Notes on the resolution of numerical equations”, dan “On the theory of numbers.”
Adapun memasuki tahun 1831, Galois diminta untuk menulis ulang karya yang diberikan kepada Cauchy dan Fourier. Untuk kali ini, matematikawan Poisson yang melakukan penilaian, tetapi pada akhirnya ia pun menolak Galois bukan karena salah, melainkan karena penjelasannya terlalu abstrak. Rekomendasinya adalah agar paper itu ditulis ulang/disempurnakan.
Guigniault, seorang konservatif, adalah dosen yang melarang mahasiswanya berpolitik. Galois, sebaliknya: jiwa aktivis yang dimilikinya sangat kuat. Tak pelak ia dan Guigniault sering berdebat. Puncaknya terjadi ketika Guigniault menerbitkan surat terbuka menyerang seorang guru berhaluan liberal. Belum lagi lama di École, tetapi Galois sudah berani menantang. Guigniault tidak lagi menoleransi. Galois akhirnya dikeluarkan dari sekolah — dan untuk selanjutnya, harus berjuang menghidupi diri sendiri.  Masa-masa selanjutnya, sekaligus merupakan tahun terakhir hidup Galois, boleh dibilang yang paling kelam. Dia dipecat dari sekolah dan tak punya pekerjaan. Frustrasi akan penolakan kalangan ilmiah, ia tak lagi menghasilkan karya matematika. Galois kini mencari pelarian lewat aktivitas radikal dan minuman keras.  Tercatat bahwa Galois dua kali ditahan polisi karena berdemo. Yang pertama, ketika dalam sebuah acara perayaan, dia bersulang untuk Raja Louis-Philippe sambil menadahkan pisau. Hal ini dianggap sebagai ekspresi ancaman. Adapun yang kedua, ketika ia dengan nekat mengenakan seragam artileri dan berkeliling kota membawa senjata: setidaknya dua pistol, satu bedil, dan sebuah belati.  Jikalau tadinya ada orang meragukan militansi Galois maka, lewat dua peristiwa di atas, kesan itu pupus sudah. Ia kini telah menjadi radikal yang seradikalnya. Tidak heran bahwa pada akhirnya ia divonis penjara enam bulan.  Ironisnya kemalangan Galois tidak berhenti sampai di situ. Menjelang dihukum penjara pun kabar buruk masih menimpanya. Revisi paper yang diserahkan pada Poisson dan Lacroix, yang berbulan-bulan tidak ada kabar, akhirnya resmi ditolak. Peristiwa ini merupakan pukulan besar akan harapan Galois mendapat pengakuan ilmiah.
Dan memang kepindahan itu memberi nilai positif. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Galois menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada matematika atau idealisme Revolusi. Dia jatuh cinta pada putri seorang dokter di Sieur Faultier  seorang gadis bernama Stephanie Potterin du Mottel. Sayangnya, sebagaimana banyak hal lain di kehidupan Galois: cinta ini pun mengalami penolakan. Stephanie yang awalnya berteman baik dengan Galois perlahan menarik diri. Entah apa alasannya  barangkali disumbang oleh temperamen Galois. Bagaimanapun akhirnya hubungan itu kandas.
Selepas hubungannya dengan Stephanie, Galois semakin tenggelam dalam politik. Dari dalam tahanan ia berkoordinasi dan mendiskusikan ide-ide progresif. Meskipun begitu, bulan Mei telah tiba, dan masa hukuman telah habis. Galois kembali menjadi orang bebas.

Tiba-tiba saja, tanpa latar belakang jelas, Galois menulis surat pada teman-temannya: bahwa ia telah ditantang untuk berduel menggunakan pistol
Terdapat beberapa teori terkait latar belakang duel Galois. Satu versi meyakini Galois dijebak oleh rezim pemerintah; versi lain mengatakan duel itu terkait masalah wanita. Versi lain lagi menyatakan bahwa Galois hendak dijadikan martir politik: sebagai aktivis radikal, kematiannya akan berguna menggelorakan simpati. Mengenai hal ini para sejarahwan tidak sepakat, dan kemungkinan, tidak akan pernah sepakat

Terlepas dari penyebabnya, satu hal sudah jelas di pagi hari 30 Mei 1832, Évariste Galois pergi ke lapangan terbuka untuk duel pistol. Menarik untuk dicatat bahwa dia begitu pesimis  begitu yakin akan mati dalam duel tersebut. Yang mana, hal ini memicu sebuah tindakan legendaris. Galois, menyadari bahwa akhir hidupnya sudah dekat, menuliskan semua teori matematikanya dalam satu malam berbentuk surat dan menitipkan pada sahabatnya Chevalier. Surat tersebut sekaligus mengandung catatan tentang riset terbaru Galois, yang tidak terdapat dalam publikasi sebelumnya. Kelak lembar-lembar itu akan diperiksa matematikawan Liouville dan diterbitkan dalam Journal de Mathématiques Pures et Appliquées sebelas tahun setelah kematian penulisnya.
Bahwa Galois sosok jenius, hal itu sulit disangkal. Di usia duapuluh tahun ia membuka cakrawala baru di bidang matematika. Sumbangannya bernilai signifikan di bidang teori grup dan simetri di samping sentuhan sana-sini terkait teori angka. Hanya saja, karena satu dan lain hal, ia tidak dapat bersumbangsih lebih lama. Akhirnya usia juga yang membatasinya.

Akan tetapi, yang membuat Galois menarik bukan semata karena dia jenius justru sebaliknya. Yang membuat Galois istimewa adalah berbagai kontradiksi inheren dalam dirinya. Seorang matematikawan yang berpolitik; romantis yang galak; jenius yang hampir gila didera penderitaan. Hampir sepanjang hidupnya dia ditolak karena “nggak pernah nyambung” sebab memang begitu banyak sisi yang dimiliki. Semua itu berkontribusi membentuk pribadi “Galois” yang unik.
Barangkali satu hal yang perlu ditekankan adalah: betapapun Galois itu cerdas, bukan berarti dia tidak bodoh. Benar bahwa dia mampu menghasilkan kontribusi ilmiah yang besar. Akan tetapi dia juga mempunyai sisi ketololan tersendiri, dengan sengaja memancing dipecat dari sekolah, hidup luntang-lantung menyalahgunakan alcohol, langganan keluar-masuk penjara. Ditambah lagi bahwa ia sepertinya menderita gangguan jiwa, selepas kematian ayahnya, Galois adalah seorang getir, pengumpat, dan paranoid.
0 komentar

Matematika Peluntur Kesombonganku


Matematika peluntur Kesombonganku
Matematika bukan hanya sebagai ilmu, matematika juga mengandung kultur, kreatifitas dan konteks. Sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk mengetahui seluk beluk matematika. Pada dasarnya, unsur kehidupan itu ada dua, yaitu ruang dan waktu.  Dengan adanya ruang, maka kita akan tahu bagaimana fisik, wujud, wadah maupun isi tentang sesuatu.  Misalnya saja, bentuk kursi, bentuk meja, keadaan kelas, panjang kertas, lebar jalan, dan lain sebagainya.  Untuk dapat saling mengenal dan berkomunikasi, kita juga membutuhkan dengan yang namanya ruang, sungguh berharganya fungsi ruang dalam kehidupan kita. Seandainya segala sesuatu dimampatkan hingga menjadi satu titik, dan sebaliknya satu titik direntangkan dengan rentangan yang tak hingga, lalu apa yang akan terjadi pada kita, dan pada kehidupan kita. Aku disini dan Mekah disini, aku disini dan Santiago Barnebau disini, Jupiter disini dan bumi disini. Tentu terbayangkan oleh kita, bagaimana akan kacaunya kehidupan ini. Semuanya akan menjadi sesuatu yang sama, tanpa tebal, tanpa panjang, tanpa isi, tanpa wadah dan tanpa bentuk.  
Selain itu, waktu juga merupakan unsur suatu kehidupan. Waktulah yang membedakan antara dulu, sekarang dan masa mendatang. Waktu pula yang membuat kita tampak berbeda dulu dan sekarang. Waktu pulalah yang membuat zaman menjadi berubah. Tanpa adanya waktu, bisa dipastikan dunia tidak akan pernah berjalan. Saat ini kita hidup, dan saat ini pula kita mati. Saat ini matahari terbit, dan saat ini pula matahari terbenam.  Lalu apa pula yang akan terjadi pada kita dan kehidupan kita. Tentu kehidupan tak terasa seperti hidup, kematian tak terasa seperti mati. Bukan karena berlangsung sangat cepat, namun karena cepat itu sendiri tidak dapat terdefinisikan. Jika kita bandingkan umur yang akan kita jalani, dengan umur dunia  dari mulai terbentuk, tentu perbandingannya akan sangat kecil sekali, tidak akan pernah sampe satu persennya. Kita tidak akan ada apa-apanya, dan dapat diibaratkan  bagai sebutir debu di tengah gurun pasir.
Jadi, kita sebagai matematikawan, pecinta dan pengagum matematika, sudah seharusnya menyadari betapa matematika itu bukan hanya sekedar ilmu, matematika juga alat sebagai pengingat, intropeksi diri, dan mungkin juga sebagai jembatan yang diberikan Tuhan, agar kita selalu bersyukur. Alangkah sombongnya seorang matematikawan yang lupa akan diri dan kodratnya. Waktu dan ruang yang telah disediakan sesempurna mungkin oleh yang Maha Kuasa, tidak dimanfaatkan sebaik – baiknya, menyia-nyiakan dengan kegiatan yang malah membuat sang Pencipta merasa tidak dihormati dan dihargai. Sesungguhnya ruang dan waktu yang disediakan adalah lahan untuk menciptakan sebanyak-bayaknya kebajikan dan kebaikan, bukan malah membanggakan dan menyombongkan diri yang sebenarnya tidak berarti apa – apa dimata sang pemilik ruang dan waktu.
Senin, 16 April 2012 0 komentar

Ketakberhinggaan dan Esensinya

        Konsep ketakberhinggaan memiliki arti tersendiri bagi dunia matematika. Disatu sisi, hal ini mengindikasikan kelengkapan matematika, namun dilain sisi hal ini mengakibatkan suatu yang kontradiktif. Perlu kita ketahui, matematika berkembang karena adanya pengalaman. Sebagai manusia, tentu ketakberhinggan berada di diluar pengalaman kita. Pikiran manusia biasa menangani hal-hal yang bersifat berhingga, segala sesuatu yang mempunyai nilai, awal dan akhir. Sejarah pemikiran matematik memiliki beberapa pelajaran penting tentang hal ini. Untuk waktu yang lama, para ahli matematika, setidaknya di Eropa, berusaha mengusir konsep ketakberhinggaan. Alasan mereka untuk melakukan hal ini sangat jelas. Selain adanya kesulitan untuk mengonsepkan ketakberhinggaan, dalam makna yang murni matematik hal ini merupakan satu kontradiksi. Matematika berurusan dengan besaran yang berhingga. Ketakberhinggaan, karena sifat dasarnya, tidak akan dapat diukur atau dihitung. Hal ini berarti bahwa terdapat konflik yang nyata di antara keduanya.
Konsep ketakberhinggaan ini  dianggap sebagai wabah oleh para ahli matematika dari zaman Yunani Kuno dulu. Walau demikian, sejak awal filsafat, orang telah berspekulasi tentang ketakberhinggaan. Anaximander (610-547 SM) mengambil hal ini sebagai basis dari filsafatnya. Zeno (±450 SM) mencoba membuktikan bahwa pergerakan ke arah kecil tak berhingga adalah suatu khayalan. Ia membuktikannya dengan cara terbalik, dengan menggunakan suatu pergerakan. Ia berpendapat bahwa satu benda yang bergerak, sebelum mencapai satu titik tertentu, harus pertama-tama menjalani separuh jarak. Setelah berada di paruh jarak, ia harus menempuh separuh jarak lagi, setelah berada diparuhan berikutnya, ia harus menempuh paruh jarak yang selanjutnya, dan seterusnya sampai tak terhingga. Selanjutnya, Zeno juga membuktikan tentang benda yang bergerak kearah dan tujuan yang sama, namun memiliki kecepatan yang berbeda. Zeno berpendapat bahwa apabila benda yang bergerak di depan lebih lambat ketimbang benda yng bergerak dibelakang, maka benda yang bergerak dibelakang tidak akan dapat menyalip benda didepannya. Hal ini dijelaskannya melalui paradox tentang Achilles si Gesit. Dalam suatu perlombaan, dimana Achilles akan ditantang oleh kura-kura. Jika Achilles dapat berlari sepuluh kali lebih cepat dari kura-kura itu, sedangkan kura-kura itu mendapat keuntungan berada 1000 meter di depan Achilles. Ketika Achilles telah menempuh 1000 meter, kura-kura itu akan berada 100 meter di depannya. Ketika Achilles telah menempuh 100 meter itu, kura-kura itu akan berada 1 meter di depannya. Ketika Achilles menempuh satu meter itu, kura-kura akan berada sepersepuluh meter di depannya, dan terus demikian sampai tak berhingga.
Konsep ini terus mengalami perkembangan. Fisika modern berpendapat bahwa jumlah saat antara dua detik adalah tak berhingga, seperti jumlah saat dalam satu rentang waktu yang tidak memiliki awal maupun akhir. Jagad ini sendiri terdiri dari rantai sebab-akibat yang tak berhingga, terus-menerus berubah, bergerak dan berkembang. Ini tidak ada bersesuaian dengan paham ketakberhinggaan yang kasar dan sepihak yang terkandung dalam deret tak berhingga dari aritmatik sederhana, di mana "ketakberhinggaan" selalu "dimulai" dengan bilangan 1, Inilah apa yang oleh Hegel disebut "Bad Infinity".
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketakberhinggaan dalam konsep matematika bukan hanya pengertian secara kasar dan sepihak, namun mengarah pada kelengkapan dan kesempurnaan matematika itu sendiri.
Senin, 12 Maret 2012 0 komentar

Sejarah Matematika dan Esensinya

Sejarah Matematika dan Esensinya
Sejarah adalah hal yang tidak terlepaskan dari sebuah kehidupan. Baik ataupun buruk, semua terekam dalam lingkup ruang dan waktu. Kehidupan yang ada sekarang merupakan produk dari proses dan perjalanan di masa lalu. Jadi, sesuatu tidak akan pernah muncul, tanpa adanya sesuatu yang dulu. Sesuatu itu muncul tidak langsung dengan sendirinya, pasti ada sesuatu pula yang menyokongnya dari belakang.  Hal inilah yang membuat betapa pentingnya arti sejarah matematika di pandangan kita. Agar kita tahu, bahwa matematika tidak hanya sekedar mengotak – ngatik angka, tetapi juga ada sisi sejarahnya. Selain menambah ilmu pengetahuan, hal ini juga membuat kita semakin yakin, bahwa matematika adalah ilmu yang ilmiah dan kompleks, sehingga diperlukan ratusan hingga ribuan tahun untuk menjelma menjadi seperti sekarang.  Mungkin dapat saya katakan, alangkah sombongnya seorang manusia bila ia tidak mau mempelajari, mengenal seluk beluk tentang latar belakangnya, padahal dia sendiri sebenarnya menggunakannya, dan bahkan memanfaatkannya untuk hidup dan bertahan hidup. Jadi intinya, dengan mempelajari sejarah matematika berarti kita mempelajari diri kita sendiri, mempelajari latar belakang kita, sehingga diharapkan dalam proses pembelajaran sejarah matematika, kita haruslah belajar dengan sepenuh hati, terus menggali untuk kemajuan diri kita sendiri.
Perjalanan dan kehidupan di masa lampau, memiliki arti yang besar bagi kehidupan di masa sekarang. Dimulai dari peradaban di zaman batu, zaman perunggu, zaman besi, zaman es, zaman modern, hingga zaman post modern. Kehidupan dan pengetahuan manusia terus meningkat. Dulu, batu menjadi alat penting bagi manusia, menjadi suatu penemuan yang sangat berguna bagi sumber penghidupan. Gua – gua menjadi tempat hidup dan berlindung dari panas dan dinginnya udara di luar. Kehidupan berburu,menjadi satu – satunya cara untuk mempertahankan hidup. Namun, pikiran manusia mulai berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Awalnya manusia yang hobi berburu, telah berubah sedikit demi sedikit untuk berternak dan bercocok tanam, gua yang menjadi tempat hidup dan berlindung telah berubah menjadi rumah yang sangat sederhana. Hal inilah yang membuat manusia secara tidak sadar menghidupkan matematika di alam bumi ini. Awalnya pengunaan matematika hanya digunakan untuk menghitung jumlah ternak dan jumlah panen. Notasinyapun hanya berupa coretan garis. Namun dari sinilah awal mula matematika itu muncul. Penggunaan geometri juga mulai terlihat dari kemajuan bangunan yang didirikan.  Matematika terus bekembang, seiring berkembangnya peradaban, hingga sekarang matematika menjadi ilmu pengetahuan yang begitu kompleks.
Ternyata sudah sepatutnya kita bersyukur hidup di masa sekarang, memanen dan menyantap ilmu pengetahuan secara optimal, tanpa harus susah – susah pergi ke tempat dimana matematika itu berkembang. Kita tidak perlu mempelajari teorema phytagoras hingga ke Mesir, bertanya dan duduk bersimpuh di makam phytagoras. Kita tidak perlu bertanya tentang soal kalkulus kepada Leibniz. Kita tidak perlu bertanya soal aljabar kepada al-khawarizmi. Sekarang, semuanya telah tersusun rapi dan terstruktur dalam bentuk buku. Kita tinggal membaca dan memahami isinya. Tidak hanya itu, ada baiknya seorang yang matematikawan menghargai setiap ilmu yang diperolehnya, melestarikan ilmunya, dan tidak menyombongkan diri dengan apa yang ia ketahui. Selain itu, dengan adanya sejarah matematika tentu akan menambah takwa dan rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah menciptakan sebuah ilmu pengetahuan yang begitu hebat, dan memberi kesempatan buat kita untuk mendalaminya.   Sekali lagi, sejarah matematika membuat kita mengerti dan paham bagaimana seharusnya kita berprilaku terhadap matematika. 
0 komentar

Aku, Sejarah Matematika dan Matematika


Aku, Sejarah Matematika dan Matematika
Apa kedudukanku dalam Matematika?
Matematika adalah salah satu bidang kehidupan yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan itu sendiri, termasuk dalam kehidupanku. Sadar ataupun tidak disadari, matematika mengiringi hampir disetiap langkah kehidupan. Walaupun sebenarnya konsep matematika adalah hasil penyempurnaan pikiran,  namun ia sangat berperan dalam keberlangsungan proses kehidupan. Mengapa matematika dikatakan sebagai hasil penyempurnaan?
Sebagai jawabannya, akan dicontohkan sudut lancip seperti gambar berikut :
 



                   Gambar 1                                                              Gambar 2
Pada gambar 1, apakah merupakan sudut lancip?
Pada gambar 2, apakah merupakan sudut lancip?
Hampir semua diantara kita, termasuk aku,   menjawab bahwa gambar 1 merupakan sudut lancip, dan gambar 2 bukan merupakan sudut.  Padahal bila kita kaji dengan seksama, dengan perbesaran 50 kali, akan terlihat sebenarnya dua garis pada gambar 1  tidaklah berpotongan, sehingga tidak mungkin membentuk sudut, apalagi sudut lancip. Selajutnya pada gambar 2, terlihat jelas bahwa kedua garis tersebut tidak membentuk sudut. Namun apabila diperkecil 20 kali dari gambar aslinya, maka kedua garis tersebut membentuk sudut lancip yang sempurna. Hal ini jelas membuktikan bahwa sebenarnya matematika itu adalah hasil penyempurnaan dari pikiran kita sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa mempelajari matematika berarti sama saja seperti kita bercermin. Jadi, matematika itu adalah kita sendiri, diri kita, jiwa kita dan pikiran kita. Bila konsep itu sudah tertanam, maka kita dapat dikatakan sebagai matematikawan sejati..
                  
                   Apa kedudukanku dalam Sejarah Matematika?
                   Sejarah Matematika merupakan salah satu bagian yang tidak dapat terlepaskan dari matematika. Dalam sejarah matematika inilah kita dapat mengetahui bagaimana matematika itu ada, baik dari penemuannya hingga perkembangannya. Dengan sejarah matematika ini pula kita dapat mengenal metode, objek, relasi, struktur, komponen, dan banyak hal yang terkait dengan matematika. Tentu dalam memahami sejarah matematika, kita juga harus menjadikan diri kita sebagai seseorang yang ada di dalam sejarah matematika. Misalnya saja untuk mempelajari sejarah matematika babilonia, maka diandaikan saja kita hidup pada masa itu, sehingga secara tidak langsung kita menjadi bagian dari sejarah matematika itu sendiri.
                   Jadi, sekali lagi dapat disimpulkan, mempelajari sejarah matematika berarti sama saja kita bercermin. Sejarah matematika itu adalah kita sendiri, diri kita, jiwa kita dan pikiran kita. Bila konsep itu sudah tertanam, maka kita dapat dikatakan sebagai matematikawan sejati.
Lalu, apa kedudukanku dalam Sejarah Matematika dan Matematika?
                   Aku adalah sejarah matematika, dan aku juga adalah matematika. Jadi matematika dan sejarah matematika adalah diriku, jiwaku dan pikiranku.  Itulah aku yang seharusnya. Dengan aku yang seharusnya itu, tentu perjalananku untuk memahami sejarah matematika dan matematika menjadi semakin mudah. Dan yang paling penting dengan menjadikan diriku sebagai sejarah matematika dan matematika maka aku akan mendapatkan kebermanfaatan yang luar biasa, yang dapat mewujudkan mimpi-mimpiku di masa mendatang.
Minggu, 01 Januari 2012 0 komentar

Mathematics Problem

Volcano eruption causing the population of 9 villages which are under the foot of the mountain to be secured. A gymnasium that is designated as a place of refuge. to facilitate the evacuation, the division ordered by the village. So, the gymnasium is divided into 9 parts. How many ways can the placement of nine villages in the ninth section of the building if the observed sequence?

Because the sequence, then the number of ways placements can be searched by permutation.
So, the answer is: 9x8x7x6x5x4x3x2x1 = 362,880 ways.
0 komentar

Elegi Permintaan Si Murid Cerdas Kepada Guru Matematika

Nama : Teguh Yota Fitra
NIM : 10305144040
(Matswa 10)

I think this paper is very meaningful.
I just know, that mathematics is not just see but also feel and hear.
If we compare this paper with reality, so different from its implementation.
Education in Indonesia, especially mathematics has a poor response from students, mathematics to be something scary, terrifying, and seem to be avoided. If the teachers know what students want, maybe this kind of thinking will soon disappear.
For you my friends, bearers of a noble task as mathematics educators, we should implement a proper system. Requires an approach and good communication between students and teachers, in order to create a conducive learning atmosphere.
Students need freedom which would build and hone his abilities. Let his thinking evolve, let him use his limbs for his development. Hopefully education in Indonesia has increased significantly.

 
;